Makkah adalah kota suci yang kaya akan simbol-simbol penting bagi umat Islam. Di antaranya adalah Ka’bah, pusat kiblat bagi Muslim di seluruh dunia.
Hajar Aswad, yang dipercaya turun dari surga, Hijr Ismail, tempat yang diyakini sebagai lokasi mustajab untuk berdoa dan sumur Zam zam, yang sumber airnya terus mengalir tanpa henti sejak pertama kali muncul.
Sumur Zam zam memiliki sejarah yang unik. Sebagai satu-satunya sumber air di gurun yang tandus, Zamzam menjadi pusat pertemuan berbagai suku yang akhirnya berkembang menjadi sebuah peradaban yang makmur.
Lebih dari itu, air Zamzam dikenal karena keutamaannya yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits.
Sejarah Sumur Zam Zam
Perjalanan dimulai ketika Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah SWT untuk mengasingkan istrinya yang tercinta, Hajar, dan putra yang sangat ia sayangi, Ismail.
Dengan tekad yang kuat, mereka bertiga berangkat dari Palestina menuju Ka’bah, melintasi gurun pasir di bawah teriknya matahari yang menyengat.
Selama perjalanan dari Palestina, Ibrahim tidak mengungkapkan kepada Hajar tujuan perjalanan mereka, dan Hajar pun tidak menanyakannya.
Ibrahim hanya tahu bahwa itu adalah perintah Allah, sementara Hajar memahami bahwa itu adalah perintah suaminya yang harus ditaati tanpa pertanyaan.
Sesampainya di Makkah, di dekat sebuah pohon besar dan di lokasi yang kini menjadi sumur Zam zam, Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya.
Tidak ada orang lain di sana. Tempat itu benar-benar sunyi dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ibrahim hanya meninggalkan mereka dengan beberapa butir kurma dan air secukupnya.
Setelah menenangkan diri, Ibrahim bersiap untuk kembali dan tidak menoleh ke arah Hajar.
“Wahai Ibrahim, ke mana kau hendak pergi? Apakah kau akan meninggalkan kami berdua di lembah sunyi ini?” tanya Hajar dengan bingung sambil mengejar suaminya.
Ibrahim tetap diam dan terus berjalan. Berkali-kali Hajar bertanya tanpa mendapat jawaban hingga akhirnya ia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu?” “Ya,” jawab Ibrahim singkat. “Kalau begitu, Allah tidak akan membiarkan kami menderita,” jawab Hajar dengan tegas.
Ia pun kembali ke tempat semula. Sesampainya di tikungan, Ibrahim melihat kembali ke arah tempat ia meninggalkan istri dan anaknya dan berdoa agar kedua orang yang ia cintai itu selalu berada dalam perlindungan Allah, dijaga, dan diberi rezeki yang cukup (QS. Ibrahim [14]: 37).
Hajar mulai merasa lapar dan haus hingga bekal yang ditinggalkan Ibrahim habis. Air susunya juga sudah kering sehingga Ismail kecil mulai menangis.
Panik, Hajar menaiki Bukit Shafa untuk melihat ke lembah, berharap menemukan seseorang yang bisa menolongnya.
Tidak menemukan siapa-siapa, Hajar pun berlari ke Bukit Marwah untuk melihat kembali ke lembahnya, berharap ada yang bisa membantunya.
Namun, tetap saja kosong. Ia melakukannya sebanyak tujuh kali. Kelak, perjalanan Hajar ini menjadi bagian dari rukun haji yang disebut Sa’i.
Singkat cerita, Hajar mendengar suara seperti gemercik air. Awalnya ia mengira itu hanya halusinasi, tetapi kemudian melihat ke sumber suara dan melihat malaikat mengorek tanah dengan sayapnya di samping Ismail hingga keluarlah air.
Hajar pun mendekati sumber air itu dan mengumpulkannya, “Zammî Zammî! (berkumpullah-berkumpullah!),” serunya dengan gembira. Sejak saat itu, sumber air tersebut dinamakan sumur Zam zam. (Ibnu Katsir, Qashashul Ambiyâ’, 2018: 109-110)
Sumur Zam Zam Pernah Hilang
Pada suatu ketika, Makkah didatangi oleh dua suku besar dari Yaman, yaitu Kabilah Jurhum yang dipimpin oleh Mudhadh bin Amr dan Kabilah Qathura yang dipimpin oleh As-Samaida’ bin Hautsar.
Mereka melihat sekawanan burung di suatu tempat, yang biasanya menandakan adanya sumber air di tengah padang tandus. Dua orang diutus untuk memastikan hal tersebut.
Setelah diketahui ada sumber air, mereka pindah ke lokasi tersebut dan meminta izin kepada Siti Hajar untuk tinggal di sana. Hajar dengan senang hati mengizinkan.
Seiring berjalannya waktu, Ismail tumbuh dewasa dan menikah dengan seorang perempuan dari Suku Jurhum. Setelah berpisah dengan istri pertamanya, ia menikah lagi dengan perempuan dari suku yang sama dan memiliki 12 anak.
Setelah Ismail wafat pada usia 137 tahun, pengelolaan Zamzam diwariskan kepada salah satu putranya, Nabit. Namun, usia Nabit tidak lama sehingga pengelolaan Zamzam dilanjutkan oleh Qaidar, putra Ismail lainnya.
Setelah Qaidar wafat, Mudhadh bin Amr, pemimpin Jurhum, mengambil alih pengelolaan Zamzam. Sejak saat itu, Makkah berada di bawah kendali suku Jurhum.
Untuk menghindari konflik antarsuku, wilayah Makkah dibagi menjadi dua: Suku Jurhum menguasai daerah Qu’aiqi’an sementara Qathura menguasai daerah Jiyad.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketegangan antara kedua suku ini meningkat hingga akhirnya pecah peperangan. Dalam pertempuran tersebut, As-Samaida’ tewas, dan setelah beberapa pertimbangan, kedua suku memutuskan untuk berdamai.
Meskipun demikian, Suku Jurhum yang berkuasa di Makkah ternyata tidak dapat dipercaya. Mereka banyak melakukan kezaliman di Tanah Suci, termasuk menjarah harta kekayaan di dalam Ka’bah.
Aturan di Makkah menyatakan bahwa siapa pun yang berbuat zalim harus diusir. Kezaliman Jurhum menyebabkan mata air Zamzam berhenti mengalir hingga sumurnya kering (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah, 2009: juz 1, h. 83-85).
Mendengar perbuatan orang-orang Jurhum, suku-suku lain tidak rela Ka’bah dihuni oleh kaum zalim. Akhirnya, Bani Kinanah dan Bani Khuza’ah bersatu untuk mengusir mereka dari Tanah Suci.
Terjadilah pertempuran besar antara Jurhum dengan sekutu Kinanah dan Khuza’ah. Pertempuran ini berakhir dengan kekalahan Jurhum.
Mereka pun diusir dari Makkah dan kembali ke Yaman. Sebelum pergi, mereka mengubur sumur Zam zam dengan rapat, tidak ingin suku lain menemukannya setelah kepergian mereka.
Seiring berjalannya waktu, akibat dinamika geografis dan bencana alam, lokasi sumur Zam zam tidak lagi tampak dan benar-benar rata dengan tanah.
Hingga berabad-abad kemudian, sumur Zam zam ditemukan kembali oleh kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib, dengan sumber air yang mengalir seperti semula (Ibnud Dhiya, Târîkhu Makkah al-Musyriqah wal Masjidil Ḫaram, tanpa tahun: juz 1, h. 62).
Letak Sumur Zam Zam
Sumur Zam zam terletak sekitar 21 meter dari Ka’bah, di dalam Masjidil Haram di Makkah. Sumur ini memiliki sejarah yang sangat penting dan dianggap sebagai salah satu mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Hajar dan putranya, Ismail.
Menurut Syafii Antonio dalam bukunya Ensiklopedia Peradaban Islam (Makkah), sumur Zam zam memiliki kapasitas untuk memompa air dengan kecepatan antara 11 hingga 18,5 liter per detik.
Ini berarti dalam satu menit, sumur Zamzam mampu menghasilkan antara 660 hingga 1.110 liter air, dan dalam satu jam dapat menghasilkan sekitar 39.600 hingga 66.600 liter air.
Kedalaman Sumur Zam Zam
Sumur ini memiliki kedalaman total sekitar 30 meter dari bibir sumur. Air Zam zam pertama kali muncul pada kedalaman sekitar 4 meter dari bibir sumur, menunjukkan betapa dekatnya air Zamzam dengan permukaan tanah.
Kedalaman dari mata air yang sebenarnya hingga ke dasar sumur adalah sekitar 17 meter. Dengan demikian, sumur ini tidak hanya dalam tetapi juga sangat efisien dalam menyediakan air dalam jumlah besar.
Diameter sumur Zam zam bervariasi antara 1,46 hingga 2,66 meter, memberikan ruang yang cukup besar untuk volume air yang dihasilkannya.
Selama berabad-abad, sumur ini telah menjadi sumber air yang tak pernah kering bagi para peziarah yang datang ke Makkah.
Sumur Zam zam tidak hanya memenuhi kebutuhan air para jamaah haji dan umrah, tetapi juga dianggap memiliki berkah dan keutamaan tersendiri, sebagaimana disebutkan dalam berbagai riwayat dan hadis.
Secara keseluruhan, sumur Zam zam bukan hanya sekadar sumber air biasa, tetapi juga memiliki nilai sejarah, spiritual, dan praktis yang sangat besar bagi umat Islam di seluruh dunia.