DI tengah kekhusyukan ibadah Ramadan plus kerinduan kepada Baitullah, Tim Media Tazkiyah coba merangkum beberapa kisah haru perjalanan haji. Melibatkan mereka yang bukan tokoh, bukan pula orang “berada”, namun akhirnya tiba di depan Kakbah.
Kami menyaringnya dari berbagai sumber. Versi baru dari cerita lama yang bisa Anda nikmati sembari menunggu waktu berbuka, mungkin.
Serial kisah kita mulai dari Ambari, lelaki kelahiran tahun 1920 di Cirebon.
Ambari seorang petani. Tetapi bukan pemilik sawah, melainkan hanya buruh tani. Setiap selesai panen dan juragan memberinya upah, hal yang pertama dituju Ambari adalah sebuah kaleng biskuit.
Di situlah harapan untuk naik haji terus dia rawat. Koin demi koin dimasukkannya, menghasilkan bunyi layaknya pertemuan dua benda logam, serta keyakinan yang semakin kuat.
“Saya masukkan berapa saja. Mau satu sen atau satu ketip,” ujarnya pada sebuah wawancara dengan Liputan6.
Ambari menabung di celengan sejak 1949. Dia melakukannya sembari ikut berperang. Kalau ada serdadu Belanda mendekat, celengan akan dia bawa ke tempat yang dia yakini aman. Malam hari dia ke sana lagi untuk mengambil hasil jerih payahnya itu.
Bayangkan saja, uang yang ditabungnya melintasi berbagai zaman. Presiden bahkan sudah berganti-ganti. Dari Soekarno, Soeharto, hingga Megawati anak Soekarno. Sebagian bahkan sudah tidak laku, namun di situlah poin pentingnya.
Uang logam kuno coba Ambari bawa ke toko loak atau kolektor. “Dibayar dengan rupiah, kemudian saya tabung lagi. Sampai terkumpul Rp35 juta, saya bayarkan biaya haji,” kenangnya.
Saat berangkat haji tahun 2016, usia Ambari sudah 90 tahun. Berarti selama 67 tahun dia menabung dan mempersiapkan diri baru bisa mewujudkan impiannya. Hanya cinta yang teramat besar yang bisa membuat seseorang bertahan selama itu. Cinta kepada Allah dan tanah yang diberkahinya. (*/)