JIKA syarat pergi haji itu semata-mata uang, Daeng Saturi Loco M tidak akan berada dalam jajaran 126 jemaah haji khusus Tazkiyah Tour tahun ini.
Dia bukan orang kaya. Penghasilannya sebagai penjual sayur di Pasar Sungguminasa diakuinya tak banyak. Sekadar untuk makan dan memenuhi kebutuhan lain secara sederhana.
Yang dimiliki Daeng Saturi seutuhnya adalah niat. Perempuan kelahiran 1 Juli 1957 itu sudah lama membulatkan tekad; ingin ke tanah suci.
Pelan-pelan ibu tiga anak itu menabung. Setiap menutup kiosnya, dia tak lupa memasukkan uang ke celengan. “Kadang 20 ribu, kadang 50 ribu, pernah juga 100 ribu,” ujarnya.
Setiap cukup sejuta rupiah, dia menyetornya ke bank. Hingga pada 2014 dia mantap mendaftar di Tazkiyah Tour. Haji khusus. Biayanya lebih mahal daripada haji reguler, beberapa kali lipat, tetapi Daeng Saturi lebih memilih di jalur itu.
Keinginannya tak lagi terbendung. Dia tidak sanggup menanti puluhan tahun. Memendam asa di daftar tunggu yang panjang. Setiap tahun geregetan melihat jemaah haji di tayangan televisi.
Dan tahun ini, Daeng Saturi benar-benar berangkat. Hanya lima tahun setelah dia menyetor uang muka senilai 4.000 dolar, sesuai regulasi Kemenag.
Dia sudah dua hari di Mekah. Saat tulisan ini diketik, Daeng Saturi baru saja selesai sarapan di lantai M2/M3 Pullman Grand Zamzam Hotel, dekat Masjidilharam.
Ketika saya mewawancarainya Minggu malam lalu di Dalton Hotel, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, belasan jam sebelum pesawat menerbangkannya ke Jeddah, Daeng Saturi menangis. Tidak sampai terisak karena terlihat sangat berupaya dia tahan.
Namun tetap ada yang meleleh di pipinya saat menceritakan bahwa dia benar-benar berjuang untuk pergi haji. Termasuk berjuang selama ini untuk menghidupi anak-anaknya, hingga kini berhasil mengantar semua buah hatinya itu membangun keluarga masing-masing.
Daeng Saturi single parent sejak 30 tahunan lalu. Suaminya meninggal saat anak tertuanya baru berusia 4 tahun.
Dia tak pernah lagi menikah. Dia memilih larut dalam ikhtiar mencari rezeki untuk keluarganya. Pagi membuka kios, sore menutupnya, malam dalam kesunyian.
Bagi Daeng Saturi, tidak ada lagi yang lebih penting selain kebahagiaan anak dan cucu, serta bisa berhaji, berdoa sekhusyuk-khusyuknya di depan Kakbah.
“Apa yang Ibu paling ingin minta di sana?” Tanya saya. Saya bersiap mencatat jawabannya dengan sebuah pulpen berwarna merah muda.
“Kesehatan dan rezeki yang banyak dan berkah.” Jawaban yang kemudian tidak saya tulis, tetapi hafal. Terlalu mudah menghafal sebuah kalimat yang datang dari hati.
Bagi pembaca tazkiyahtour.co.id, doakan Daeng Saturi bisa melakoni semua rangkaian ibadah hajinya dengan baik. Dia mungkin akan berkali-kali menangis di sana. Tetapi biarlah. Air mata itu toh hanya akan makin menguatkan tekanan doanya. Memohon pada-Nya. (*)
Imam Dzulkifli untuk tazkiyahtour.co.id