Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi akan menerapkan skema mabit di Muzdalifah dengan metode murur pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1445 H/2024 M.
Skema murur ini diterapkan sebagai upaya untuk menjaga keselamatan jemaah haji dari potensi kepadatan, mengingat terbatasnya area di Muzdalifah Mekkah.
Mabit di Muzdalifah dengan metode murur adalah bermalam yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah tanpa turun dari kendaraan, setelah menjalani wukuf di Arafah. Jemaah tetap berada di dalam bus yang akan langsung mengantar mereka menuju tenda di Mina.
“Tahun ini, kita akan menerapkan skema murur untuk mabit di Muzdalifah. Kebijakan ini diambil setelah mempertimbangkan potensi kepadatan di tengah terbatasnya area Muzdalifah,” jelas Direktur Layanan Haji Luar Negeri Subhan Cholid di Makkah, Rabu (4/6/2024).
“Skema murur ini merupakan ijtihad dan ikhtiar bersama untuk menjaga keselamatan jemaah haji Indonesia,” tambahnya.
Subhan mengungkapkan bahwa area yang disediakan untuk jemaah haji Indonesia adalah seluas 82.350 m2.
Kepadatan Jemaah di Muzdalifah Mekkah
Pada tahun 2023, area ini menampung sekitar 183.000 jemaah haji Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab, sementara 27.000 jemaah lainnya (9 maktab) menempati area Mina Jadid. Akibatnya, setiap jemaah hanya mendapatkan ruang sekitar 0,45 m2 di Muzdalifah.
“Tahun ini, area Muzdalifah akan semakin padat karena Mina Jadid tidak lagi ditempati oleh jemaah haji Indonesia. Sebanyak 213.320 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah, ditambah pembangunan toilet yang mengambil ruang seluas 20.000 m2. Sehingga, setiap jemaah hanya mendapatkan ruang sekitar 0,29 m2,” terang Subhan.
“Kepadatan ini berpotensi membahayakan jemaah, oleh sebab itu kita akan menerapkan skema murur saat mabit di Muzdalifah,” tegasnya.
Subhan menambahkan bahwa ini bukan hanya masalah yang dihadapi oleh jemaah haji Indonesia, tetapi juga oleh jemaah dari seluruh dunia. Sebagian besar jemaah haji dari Turki dan beberapa negara Afrika juga menggunakan skema murur.
Keputusan ini sejalan dengan hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan bahwa kepadatan di Muzdalifah dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah tanpa kewajiban membayar dam, karena kondisi berdesakan bisa menimbulkan bahaya.
“Menjaga keselamatan jiwa (hifdu an-nafs) saat jemaah haji saling berdesakan merupakan uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah,” ujar Subhan mengutip kesimpulan musyawarah Syuriah PBNU.
Penerapan Skema Murur
Subhan menjelaskan bahwa pergerakan jemaah haji Indonesia dari Arafah akan dibagi dalam dua skema: murur dan normal. Sekitar 25% dari jumlah jemaah dan petugas haji, atau sekitar 55.000 orang, akan menggunakan skema murur.
“Angka ini mencakup 27.000 jemaah yang sebelumnya menempati Mina Jadid, tambahan kuota 10.000, dan sekitar 18.000 yang terdampak pembangunan toilet di Muzdalifah,” kata Subhan.
Skema murur akan diprioritaskan untuk jemaah dengan risiko tinggi (risti), lanjut usia (lansia), disabilitas, serta pendamping lansia.
PPIH akan meminta petugas kloter untuk mendata jemaah yang akan diikutkan dalam skema murur sesuai kriteria dan jumlah yang ditentukan. Laporan tersebut akan diserahkan kepada petugas sektor dan dihimpun oleh petugas Daker Makkah.
“Skema murur akan dilaksanakan pada 9 Zulhijjah dari pukul 19.00 hingga 22.00 waktu Arab Saudi. Jemaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah tanpa turun dari bus, lalu langsung menuju Mina,” papar Subhan.
“Satgas Mina, yang dikelola oleh petugas Daker Makkah, akan bergerak dari Arafah ke Mina lebih awal, pukul 13.30 WAS pada 9 Zulhijjah, untuk menyambut kedatangan jemaah,” lanjutnya.
Pergerakan jemaah dengan skema murur dari Arafah ini akan dilakukan berdasarkan daftar nama jemaah yang sudah diusulkan. Mereka terdiri dari jemaah risti, lansia, disabilitas, dan pendampingnya.
“Jemaah akan berkumpul di pintu keberangkatan maktab di Arafah setelah Magrib untuk diberangkatkan melintas Muzdalifah dan langsung ke Mina,” sebut Subhan.
Untuk pergerakan jemaah dengan skema normal, sistem taraddudi dari Arafah ke Muzdalifah akan dimulai pukul 22.00 WAS, setelah proses pergerakan skema murur selesai.
Sebelum ditetapkan, Kementerian Agama telah melakukan pembahasan skema murur ini dengan otoritas Arab Saudi, termasuk pihak Masyariq dan Naqabah (Organda Saudi).
Pembahasan tersebut melibatkan Subhan Cholid dan Konsul Haji KJRI Jeddah, Nasrullah Jasam. PPIH Arab Saudi juga berkirim surat ke Kementerian Umrah dan Haji Arab Saudi.
Di Indonesia, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief melakukan safari ke sejumlah organisasi masyarakat, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Nahdlatul Ulama, untuk mendiskusikan skema murur.
Keuntungan Skema Murur
Subhan Cholid menjelaskan bahwa jemaah haji yang mengikuti skema murur didahulukan keberangkatannya dari Arafah untuk menghindari kepadatan dan masyaqqah yang lebih besar.
“Jemaah yang ikut dalam skema ini terdiri dari risti, lansia, dan disabilitas, sehingga keberangkatan lebih awal memberikan waktu yang lebih longgar untuk naik dan turun kendaraan, baik di Arafah maupun saat tiba di Mina,” jelas Subhan.
PPIH mendorong petugas kloter dan sektor untuk menyosialisasikan jadwal dan skema keberangkatan ini kepada jemaah. Konsultan dan pembimbing ibadah juga akan memberikan pemahaman mengenai skema murur ini kepada jemaah.
Penerapan skema murur bukan hanya langkah logistik, tetapi juga bentuk adaptasi terhadap dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji.
Dalam konteks ini, keamanan dan kenyamanan jemaah menjadi prioritas utama, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam pelaksanaan ibadah yang harus memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan seluruh peserta.
Melalui pendekatan ini, diharapkan pelaksanaan ibadah haji di Muzdalifah dapat berjalan dengan lebih lancar dan teratur, tanpa mengurangi kekhusyukan dan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.