INI bagian kedua dari serial Kisah-kisah Haji yang dirangkum Tim Media Tazkiyah dari berbagai sumber. Kami berharap tulisan-tulisan ini tidak sekadar menjadi bacaan pengisi waktu senggang, tetapi juga mengirim energi positif kepada Anda;
Mungkin bisa menjadi penyemangat bagi Anda (juga kami) untuk terus terhubung secara emosional dengan tanah suci. Insyaallah pandemi segera berakhir dan kita berangkat lagi ke destinasi terbaik bagi setiap muslim itu. Entah haji atau umrah.
Dan ini tentang Bardi Syafii. Dia berangkat haji bersama istri pada 2016 lalu. Tetapi Anda kemungkinan akan terkejut jika mengetahui pekerjaan suami dari Rumiyati itu.
Bersama sang istri, Bardi memulai impiannya pada 1985. Kala itu dia membuka lapak jualan di Mangkubumi, Yogyakarta. Jualannya dua saja, koran dan rokok. Tetapi setiap hari ada saja yang bisa dia tabung. Kadang Rp500 kadang Rp1.000.
Tabungan terisi juga dari hasil Rumiyati membuka warung lotek (sejenis gado-gado). Mereka ketika sudah tiba di rumah, akan bercerita mengenai hasil penjualan hari itu. Ada atau tidak yang bisa dimasukkan ke celengan haji.
Cara pasangan itu mencari uang sempat membuat beberapa orang bertanya. “Kamu dan istrimu kerja siang malam uangnya itu mau buat apa? Saya jawab mau naik haji, eh malah mereka tertawa, tetapi itu jadi pelecut semangat,” kenang Bardi.
Tahun demi tahun berlalu. Enam belas kali sudah Bardi dan Rumiyati merasakan musim haji dengan menjadi pembaca dan pendengar berita haji. Isi celengan tak cukup-cukup.
Maka pada 2001, Bardi nyambi menjadi tukang parkir. Penghasilannya lumayan, bisa mencapai Rp75.000 per hari. Celengan mendapat jatah Rp5.000 sampai Rp10.000.
“Tidak nabung di bank. Uang saya simpan di kaleng,” kata Bardi.
Tetapi namanya manusia, Bardi juga berpotensi khilaf setiap saat. Empat tahun kemudian saat dia merasa uang di celengannya sudah lumayan, dia terpikir untuk berbisnis properti. Beli tanah, jual lagi. Beli rumah, rehab, jual lagi.
“Uang saya ambil Rp40 juta. Maunya diputarkan, tapi mungkin karena sudah mengingkari janji malah jatuh rugi. Janji awalkan gunakan tabungan itu untuk naik haji malah saya gunakan bisnis,” kata dia.
Beruntung pengalaman itu membuat Bardi dan istrinya kembali membulatkan tekadnya seperti semula. Haji ya haji. Bukan bisnis. Mereka kembali bekerja keras mengumpulkan uang untuk pergi ke tanah suci.
“Niat saya kalau uang sudah terkumpul lagi, saya akan mendaftar naik haji setelah kedua anak saya lulus kuliah dan bekerja,” katanya.
Akhirnya, kedua putranya lulus kuliah dari Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk jenjang S1. Mereka juga telah mendapatkan pekerjaan.
Badri pun akhirnya mendaftar haji pada 2010 dan berangkat enam tahun kemudian. Dia menemukan pelajaran bahwa kalau sudah diniatkan, lurus saja melakoni. Ada saja kemudahan yang Allah berikan.
Satu lagi, bahwa haji itu panggilan khusus. Kaya atau miskin bukan syarat untuk bisa berangkat. (*)